Tengah Periode

Tengah Periode

--

Oleh: Dahlan Iskan

ANDA sudah tahu: setiap dua tahun ada pemilihan anggota DPR di Amerika.

Maka menjadi presiden Amerika itu tidak mudah. Ia/dia sudah diuji kinerjanya/nyi di pertengahan masa jabatannya/nyi yang 4 tahun.

Kalau dua tahun pertama mengecewakan, presiden tersebut sudah bisa ''dihukum'' di tengah jalan.

Presiden Joe Biden pun menerima ''hukuman'' itu. Di pemilu legislatif 8 November kemarin, Partai Demokrat kehilangan mayoritas di DPR (House of Representative).

Hasil akhir pileg itu belum keluar, tapi sudah pasti perolehan kursi Demokrat ketinggalan dari Republik. Dari 430 kursi yang diperebutkan, Republik sudah mendapat 210 kursi. Demokrat baru 197. Sisa yang belum selesai justru banyak dari Dapil yang biasanya dimenangkan Republik.

Maka tidak mudah lagi bagi Biden untuk melaksanakan semua keinginannya. Terutama dalam hal anggaran. Biden harus menikmati setengah sisa masa jabatannya dengan kerja yang lebih keras. Terutama bagaimana harus melobi anggota DPR dari partai sebelah. Juga kalau Biden masih ingin maju lagi sebagai Capres 2024 di usianya nanti yang 81 tahun.

Maka mulai Januari depan Nancy Pelosi harus lengser dari jabatan ketua DPR. Nancy sebenarnya menang dalam perebutan kursi DPR di Dapil California. Tapi Demokrat kehilangan lebih dari 20 kursi. Termasuk di daerah tradisional Demokrat seperti New York.

Drama Nancy di Taiwan yang lalu ternyata tidak bisa mengatrol suara Demokrat. Teror yang dialami suaminyi di rumahnyi di San Francisco –hanya seminggu sebelum Pileg– juga tidak membawa dampak suara.

Maka Biden harus menerima ''hukuman'' itu. Harga BBM memang melambung tinggi di masa kepresidenannya. Jauh melampaui rekor siapa pun. Inflasi tidak terkendali. Suku bunga harus dinaikkan.

Sebenarnya itu salah Vladimir Putin. Yang menyerang Ukraina. Tapi rakyat tidak mau tahu. Rakyat nagih janji kampanye lebih cepat dari masa jabatannya.

Itulah demokrasi di Amerika.

Memang hasil Pileg di pertengahan masa jabatan presiden ini tidak sepenuhnya sebagai ''hukuman''. Rakyat Amerika sudah biasa bersikap seperti ini: tidak mau punya seorang presiden yang terlalu berkuasa. Maka ketika presidennya dari Demokrat rakyat menghendaki mayoritas DPR-nya dari partai yang kalah. Dari situ rakyat bisa mengontrol presiden lewat wakilnya.

Bukankah kekalahan Demokrat kali ini akibat gencarnya gerakan Presiden Donald Trump? Kelihatannya bukan. Banyak sekali caleg yang didukung mati-matian oleh Trump justru kalah. Misalnya Dokter Mahmet Oz di Pennsylvania. Dokter selebriti itu kalah lawan caleg Demokrat yang sudah kena stroke lima bulan lalu.

Tentu Biden sendiri tidak terlalu kaget. Di Amerika sudah biasa terjadi seperti itu. Ia juga menyatakan sudah siap melakukan berbagai kompromi dengan DPR yang dikuasai sebelah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: